Cerita Islam, Cerita Semangat, Cerita Sedih, Cerita Seru, Cerita Cinta, Cerita Dramatis
Mereka adalah lelaki dan perempuan yang berkomitmen dengan agamanya. Melalui ta’aruf yang singkat dan hikmat, mereka memutuskan untuk melanjutkannya menuju khitbah. Sang lelaki, harus maju menghadapi lelaki lain: ayah sang perempuan. Dan ini tantangan yang sesungguhnya. Ia telah melewati deru pertempuran semasa aktivitasnya di kampus, tetapi pertempuran yang sekarang amatlah berbeda. Sang perempuan, tentu saja siap membantunya. Memuluskan langkah mereka menggenapkan agamanya.
Maka di suatu pagi di sebuah rumah, di sebuah ruang tamu, seorang lelaki muda menghadapi seorang lelaki setengah baya untuk ‘merebut’ sang perempuan muda, dari sisinya.
“Oh, jadi engkau yang akan melamar itu?” tanya sang setengah baya.
“Iya, Pak,” jawab sang muda.
“Engkau telah mengenalnya dalam-dalam?” tanya sang setengah baya sambil menunjuk si perempuan.
“Ya Pak, sangat mengenalnya,” jawab sang muda, mencoba meyakinkan.
“Lamaranmu ditolak. Berarti engkau telah memacarinya sebelumnya? Tidak bisa. Aku tidak bisa mengijinkan pernikahan yang diawali dengan model seperti itu!” balas sang setengah baya.
Si pemuda tergagap, “Enggak kok pak, sebenarnya saya hanya kenal sekedarnya saja, ketemu saja baru sebulan lalu.”
“Lamaranmu ditolak. Itu serasa ‘membeli kucing dalam karung’ kan, aku tak mau kau akan gampang menceraikannya karena kau tak mengenalnya. Jangan-jangan kau tak tahu aku ini siapa?” balas sang setengah baya, keras.
Ini situasi yang sulit. Sang perempuan muda mencoba membantu sang lelaki muda. Bisiknya, “Ayah, dia dulu aktivis lho.”
“Kamu dulu aktivis ya?” tanya sang setengah baya.
“Ya Pak, saya dulu sering memimpin aksi demonstrasi di kampus,” jawab sang muda, percaya diri.
“Lamaranmu ditolak. Nanti kalau kau lagi kecewa dan marah sama istrimu, kau bakal mengerahkan rombongan teman-temanmu untuk mendemo rumahku ini kan?”
“Anu Pak, nggak kok. Dulu demonya juga cuma kecil-kecilan. Banyak yang tak datang kalau saya suruh berangkat.”
“Lamaranmu ditolak. Lha kamu ngatur temanmu saja tak bisa, kok mau ngatur keluargamu?”
Sang perempuan membisik lagi, membantu, “Ayah, dia pinter lho.”
“Kamu lulusan mana?”
“Saya lulusan Teknik Elektro UIN Pak. UIN itu katanya salah satu kampus terbaik di Indonesia lho Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Kau sedang menghinaku yang cuma lulusan SMK ini kan? Menganggapku bodoh kan?”
“Enggak kok Pak. Saya juga nggak pinter-pinter amat Pak. Lulusnya saja semester sebelas Pak.”
“Lha lamaranmu ya ditolak. Kamu saja bego begitu gimana bisa mendidik anak-anakmu kelak?”
Bisikan itu datang lagi, “Ayah dia sudah bekerja lho.”
“Jadi kamu sudah bekerja?”
“Iya Pak. Saya bekerja sebagai marketing. Keliling Jawa dan Sumatera jualan produk saya Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Kalau kamu keliling dan jalan-jalan begitu, kamu tak kan sempat memperhatikan keluargamu.”
“Nganu Pak. Kelilingnya jarang-jarang. Produknya saja nggak terlalu laku.”
“Lamaranmu tetap ditolak. Lha kamu mau kasih makan apa keluargamu, kalau kerja saja nggak becus begitu?”
Bisikan kembali, “Ayah, yang penting kan ia bisa membayar maharnya.”
“Rencananya maharmu apa?”
“Seperangkat alat shalat Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Kami sudah punya banyak. Maaf.”
“Tapi saya siapkan juga satu kilogram emas dan uang limapuluh juta Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Kau pikir aku ini matre, dan menukar anakku dengan uang dan emas begitu? Maaf anak muda, itu bukan caraku.”
Bisikan, “Dia jago IT lho Pak”
“Kamu bisa apa itu, internet?”
“Oh iya Pak. Saya rutin pakai internet, hampir setiap hari lho Pak saya nge-net.”
“Lamaranmu ditolak. Nanti kamu cuma nge-net, menghabiskan anggaran untuk internet dan nggak ngurus anak istrimu di dunia nyata.”
“Tapi saya ngenet cuma ngecek e-mail saja kok Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Jadi kamu nggak ngerti Facebook, Blog, Twitter, Youtube? Aku tak mau punya mantu gaptek gitu.”
Bisikan, “Tapi Ayah…”
“Kamu kesini tadi naik apa?”
“Mobil Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Kamu mau pamer kan kalau kamu itu kaya. Itu namanya riya’. Nanti hidupmu juga bakal boros. Harga BBM kan makin naik.”
“Nganu, saya cuma pinjam mobilnya teman kok Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Lha nanti kamu pinjam mobilku juga? Ini namanya payah”
Bisikan, “Ayahh..”
“Kau merasa ganteng ya?”
“Nggak Pak. Biasa saja kok”
“Lamaranmu ditolak. Coba kau ngaca dulu sebelum melamar anakku yang cantik ini.”
“Tapi pak, di kampung sebenarnya banyak pula yang naksir kok Pak.”
“Lamaranmu ditolak. Kau berpotensi playboy. Nanti kau bakal selingkuh!”
Sang perempuan kini berkaca-kaca, “Ayah, tak bisakah tanyakan soal agamanya, selain tentang harta dan fisiknya?”
Sang setengah baya menatap wajah sang anak, dan berganti menatap sang muda yang sudah menyerah pasrah.
“Adakah yang engkau hafal dari Al-Qur’an dan Hadits?”
Si lelaki muda telah putus asa, tak lagi merasa punya sesuatu yang berharga. Pun pada pokok soal ini ia menyerah.
“Dari 30 juz saya cuma hapal juz ke-30, di luar itu ada sedikit di juz pertama, 27, 28 dan 29. Hadits-pun cuma dari Arba’in pula.”
Sang setengah baya tersenyum, “Lamaranmu diterima anak muda. Itu cukup. Kau lebih hebat dariku. Agar kau tahu saja, membacanya saja pun, aku masih tertatih.”
Mata sang muda ikut berkaca-kaca.